TOPAN

Oleh : Ana Rohana

 

Cerita ini semacam catatan hati sekadar untuk membumikan rasa perih semata. Sebuah rasa terus menerus bertalu-talu di dalam jiwa. Sebuah kisah berawal dari masa silam ketika pertama kali masuk dunia kerja. Dan sepanjang masa itu, selalu mengenalnya sebagai sosok yang luka tidak ada teman untuk berbagi dan bermain di kala jam istirahat tiba.

Meski cerita ini tentang rasa perih dan kesendirian, kuharap tak ada air mata dan kesedihan. Aku tidak bermaksud membuat siapapun untuk menangis. Hanya saja ini sepenggal cerita agar tidak meluber menjadi banjir kemana-kemana.

Di saat sendiri aku termenung dalam keheningan pagi, senja maupun malam teringat tentang ia. Menimbulkan bertumpuk-tumpuk kegalauan. Membuat dada sesak. Cerita ini tentang seorang siswa laki-laki yang duduk di bangku SD kelas satu. Setiap hari melihatnya selalu sendiri dengan membawa buku kecil dan pensil kemana-mana. Seorang diri tidak ada teman disamping. Ia tidak banyak bicara. Sekalipun bicara tetapi ucapannya tidak jelas. Aku menyadari belakangan ternyata bibirnya sumbing. Sedikit ceroboh. Dan selalu kelihatan malas. Ada satu yang membuat tertarik kepadanya, ialah senyum polos itu. Ia selalu tersenyum ketika melihatku.

Dari senyumnya. Aku menjadi tertarik untuk mengenal ia lebih lagi. Ia anak laki-laki yang selalu bisa menjadi pusat perhatian. Apalagi setiap kali melihatnya ia selalu sendiri.

Suatu hari, dia menangis di pojokkan dekat dinding wc sambil menutup mata. Dengan baju basa penuh keringat dan celana kotor penuh dengan kotoran. Bau tidak sedap menyeruak disekitar tempat tersebut. Semua orang menjauh tidak ada satupun mendekat. Banyak mata yang melihat, tidak satupun ingin membantu. Semua teman-teman mengejeknya “Topan teberak, Topan teberak.” dengaan kompak mereka meneriakinya.

Ada satu anak yang datang. Ia datang dengan nafas ngos-ngosan karena berlari “Bunda tolong, Topan teberak dicelana, pakaiannya kotor semua dan banyak teman yang mengejeknya!”

Aku yang sedang ingin memasukkan makanan kedalam mulut. Mendengar anak kecil meminta tolong untuknya, merasa iba sekaligus rasa penasaran menyeruak ke permukaan. “Dimana temanmu itu?”tanyaku. Dengan tegas ia menunjukkan tempatnya berada. Ialu menggenggam tangan  mengajak berdiri menuju kesana.

Sesampainya, kulihat ia menangis bercampur malu serta takut. Suara ejekkan menggema. Membuatku marah seketika. “Diammm” perintahku. Lalu dengan tegas mengusir mereka karena tidak tahan lagi. “Kembali kalian ke kelas!”bentakku lagi.

Tidak banyak drama. Aku suruh Topan untuk membersihkan diri di kamar mandi. Melepas semua pakaian kotornya dan mandi. Aku dan teman Topan yang baik hati berbagi tugas. Ia kusuruh untuk mengambil pakaian ganti di kelas. Sedangkan aku membersihkan kotoran yang berserakkan di lantai. Rasanya ingin muntah, air mata menganak kepermukaan saking tidak tahan. Tetapi harus segera dibersihkan. Setelah itu baru akan kutanya kepada Topan ‘kenapa bisa terjaadi?’.

Dan waktupun telah berjalan memeluk cerita tentangnya….

“Topan coba ceritakan. Apa sebenarnya yang terjadi?”ujarku padanya ketika sudah berada di dalam kelas. Saat itu ia tengah menunduk kebawah melihat  jari-jari kaki. Seolah-olah jari kaki memiliki mulut untuk mengajak berbicara.  “Berbicaralah, aku ingin mendengar langsung darimu!”kataku lagi.

Setelah ia menceritakan semua kejadian itu. Aku menegerti ternyata ia adalah seorang anak yang selalu mendapat ejekkan dan dijauhi teman sehingga membuatnya menjadi manusia sepi. Tidak ada teman ingin berkawan dengannya karena ia beda dengan yang lain. Bibirnya sumbing, bicarannya tidak jelas, dan ia termasuk anak yang lambat dalam menangkap pelajaran yang disampaikan guru kepadanya. Oleh sebab itulah ia selalu diejek oleh teman yang lain.

            Aku termangu, merenungi apa yang tengah terjadi, semuanya. Pertanyaanku semakin membanjir. Aku tidak mengerti mengapa ia diam saja ketika diperlakukan seperti itu. Apa mungkin ia takut? atau trauma karena selalu dipukul ayahnya di rumah dan selalu dapat kata-kata kasar sehingga membuatnya menjadi anak yang merasa rendah diri. Itu hanya opiniku saja. Namun aku sangat yakin pasti ada sesuatu yang sangat besar melatar belakangi tindakannya itu. Tetapi sialnya ia tidak mengatakan apa-apa kepadaku tentang yag lain selain cerita kejadian tadi. Bahkan ketika ditanya tentangnya di rumah, Ia selalu diam.

            Aku hanya ingin ia aman terbebas dari ejekkan temannya. Terlindungi serta terhindar dari rasa tidak nyaman pada lingkungan sekitar. Maka dari itu, aku sedikit mengancam anak-anak yang lain agar mau berteman dengannya. Memberikan hukuman bagi yang suka mengejek Topan maupun yang lain. Dan menyuruh mereka meminta maaf serta berjanji tidak mengulangi kesalahan yang sama.

                                                            **

“Tak usah kau kenang luka yang disiram garam. Perih kawan.. Biarkan hujan yang jatuh disela luka. Sampai hilang dengan sendirinya. cukup kau siram dengan aku memaafkan luka kau goreskan. Sampai sini, kita tak lagi di sungai ini, dalam kepanikkan masa lalu. Mari kita berdamai.”

 

 

 

BERIKAN AKU RASA AMAN

Oleh : Ana Rohana

 

Aku bukan udara yang telah merampas kata.

Dari setiap luka kau torehkan.

Bukan pula anak kecil menangis.

Dari takutnya badut bertopeng muka dua.

            Tak usah kau mengenangku.

            Aku tak punya cerita pantas untukmu.

            Biarkan aku bebas darimu!.

            Dari topeng muka duamu.

Jangan ganggu rimbunku.

Karena rimbunku sudah mencoba memberikan teduh.

Mungkin cara kita tidak sama dalam memberikan teduh.

Tetapi, tujuan kita sama. Sama-sama memberikan keteduhan.

            Biarkan damai melindungi.

            Memberikan rasa aman,

            Dari ketakutan tajamnya lidah dan lentiknya jari tangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini